Mochammad Rizqy Teddy Saputra
66
IDENTIFIKASI DAN ANALISIS DETERMINAN KETAHANAN PANGAN DI
INDONESIA (STUDI EMPIRIS PRODUKSI BERAS 1980-2020)
Mochammad Rizqy Teddy Saputra
1
, Didit Purnomo
2
Universitas Muhammadiyah Surakarta Indonesia
mochrizqi26@gmail.com, dp274@ums.ac.id
ARTIKEL INFO:
Diterima:
20 Oktober 2022
Direvisi:
20 Oktober 2022
Disetujui:
20 Oktober 2022
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul “Identifikasi dan Analisis Determinan Ketahanan
Pangan di Indonesia (Studi Empiris Produksi Beras 1980-2020)”. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis pengaruh produktivitas lahan, harga beras, luas
lahan, dan luas panen terhadap ketahanan pangan. Metode analisis yang
digunakan adalah regresi berganda.
Kata kunci: Produktivitas Lahan, Harga Beras, Luas Lahan, Luas Panen.
ABSTRACT
This research is entitled "Identification and Analysis of Determinants of Food
Security in Indonesia (Empirical Study of Rice Production 1980-2020)". This
study aims to analyze the effect of land productivity, rice prices, land area, and
harvested area on food security. The analytical method used is multiple
regression.
Keywords: Land Productivity, Rice Price, Land Area, Harvest Area.
PENDAHULUAN
Sejak terjadinya pemanasan global, isu pangan semakin menarik perhatian masyarakat dunia.
Tingginya laju pertumbuhan penduduk dunia terutama di negara-negara berkembang telah
menyebabkan ketersediaan lahan untuk aktifitas pertanian semakin menyempit, keterseiaan pangan
semakin sedikit sehingga harga pangan semakin meningkat. Fenomena itu pernah diramalkan Malthus
bahwa pertumbuhan pangan kalah bersaing dengan pertumbuhan penduduk sehingga dikhawatirkan
dunia akan kekurangan pangan.
FAO dalam laporannya tahun 2009 memprediksikan bahwa Indonesia adalah negara yang
terancam krisis pangan, apalagi jumlah penduduk Indonesia yang sudah melampaui angka 200 juta
orang (Sukarniati, 2013). Krisis pangan di Indonesia ditandai oleh peningkatan harga sejumlah komoditi
pertanian seperti cabai, beras, kedelai, jagung dan sayur mayur.
Indonesia pernah mengeluarkan kebijakan yang keliru yakni mengarahkan seluruh penduduk
Indonesia untuk makan nasi yang sesungguhnya bertentangan dengan kultur sebagian masyarakat yang
makanan pokoknya jagung, ketela atau sagu. Kearifan local tersebut memudar dan menjadikan beras
sebagai satu-satunya makanan pokok. Dari situlah kemudian muncul bias pangan. Makanan pokok
diidentikkan dengan beras.
Tolak ukur untuk menunjukkan apakah suatu wilayah berhasil mencapai ketahanan pangan atau
tidak, tidak hanya dilihat dari faktor ketersediaan pangan, tetapi juga dari akses pangan dan penyerapan
pangan di wilayah tersebut. Hal ini sesuai dengan konsep ketahanan pangan dari berbagai institusi di
dunia (Verma, Bhattacharyya, & Kumar, 2018) seperti:(Sukarniati, 2013) USAID: Kondisi dimana
setiap orang setiap saat memiliki akses fisik dan ekonomi untuk kebutuhan konsumsinya untuk hidup
sehat dan produktif. (Verma et al., 2018) FAO: Situasi dimana semua rumah tangga memiliki akses
baik secara fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya.
(Suharyanto, 2011) Mercy Corps: Suatu negara di mana setiap orang setiap saat memiliki akses fisik,
sosial, dan ekonomi terhadap kecukupan pangan, yang aman dan bergizi untuk kebutuhan gizi sesuai
Jurnal Ekonomi Teknologi & Bisnis (JETBIS)
Volume 1, Number 2, Oktober 2022
p-ISSN 2964-903X; e-ISSN 2962-9330
Vol 1, No 2 Oktober,2022
67
https://jetbis.al-makkipublisher.com/index.php/al/index
seleranya untuk hidup produktif dan sehat.
Undang-Undang Pangan No.7 Tahun 1996 menyatakan kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan
bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun
mutunya, aman, merata dan terjangkau. Sementara USAID (1992) menyatakan kondisi ketika semua
orang pada setiap saat mempunyai akses secara fisik dan ekonomi untuk memperoleh kebutuhan
konsumsinya untuk hidup sehat dan produktif. Sedangkan FAO (1997) menyatakan situasi dimana
semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi
seluruh anggota keluarganya, dimana rumah tangga tidak beresiko mengalami kehilangan kedua akses
tersebut (Suharyanto, 2011).
Ketahanan pangan harus mencakup faktor ketersediaan, distribusi, dan konsumsi. Faktor
ketersediaan pangan berfungsi menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh
penduduk, baik dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan keamanannya. Distribusi berfungsi
mewujudkan sistem distribusi yang efektif dan efisien untuk menjamin agar masyarakat dapat
memperoleh pangan dalam jumlah, kualitas dan keberlanjutan yang cukup dengan harga yang
terjangkau. Sedangkan Faktor konsumsi berfungsi mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan secara
nasional memenuhi kaidah mutu, keragaman, kandungan gizi, kemananan dan kehalalannya (Prabowo,
2010).
Bagi bangsa yang mampu memenuhi kebutuhan pangan dan gizi masyarakatnya maka bangsa
tersebut akan punya peluang besar untuk memiliki kualitas sumber daya manusia yang baik pula yakni
sumber daya manusia yang berfisik sehat. Sumber daya manusia yang berfisik sehat akan memiliki
kesempatan untuk memiliki produktifi tas yang baik.:
a. Penggunaan teknologi Pancausaha Tani
b. Penerapam kebijakan harga sarana dan hasil produksi
c. Adanya dukungan kredit dan Infrastruktur (http://army-as.web.id/2010/11/makalah-revolusi-
hijau)
Permintaan beras dalam negeri yang tinggi menebabkan sejak tahun 1988 Indonesia menjadi net
imported beras bahkan menjadi salah satu negara pengimpor beras terbesar yakni sebesar 50 persen stok
beras dunia. Sementara ini, dalam jangka pendek defisit kebutuhan beras masih dapat ditutup dengan
cara membuka keran impor, namun demikian untuk jangka panjang impor beras juga menjadi semakin
tidak mudah karena tantangan perubahan iklim yang menyebabkan terjadinya anomali cuasa juga
berdampak pada kegagalan panen tidak hanya di Indonesia tetapi terjadi juga di banyak negara termasuk
negara-negara pengekspor beras Indonesia. Cuaca yang sulit diprediksi selain menyulitkan para petani
menentukan jadwal tanam, kekurangan air juga menyebabkan munculnya banyak hama yang semakin
menyulitkan petani di banyak tempat untuk memproduksi padi. Banyak negara yang selama ini menjadi
negara pengekspor beras pada masa yang akan datang juga akan sangat berhati-hati dengan
mengutamakan kebutuhan dalam negerinya terlebih dahulu sebelum melakukan ekspor.
Selain masalah ancaman perubahan iklim global yang menyebabkan gagal panen atau
penurunan produktifi tas, masalah lain yang dihadapi dalam pengadaan beras di Indonesia adalah alih
fungsi lahan yang sedemikian besar. Banyaknya lahan pertanian yang berubah fungsi menjadi lahan
non pertanian seperti menjadi daerah pemukiman atau lahan industri. Hal itu menyebabkan luas lahan
pertanian padi menyusut. Belum lagi adanya perubahan peruntukan lahan dari lahan sawah yang
ditanami padi menjadi lahan yang digunakan untuk menanam tembakau, cabai, bawang merah atau
komoditi lain yang dianggap lebih menguntungkan secara ekonomis. Adanya spekulan beras juga
menyebabkan ketersediaan beras sebagai komoditi paling pokok juga mengalami ancaman. Dari sisi
demand, permintaan terhadap beras meningkat seiring pertumbuhan jumlah penduduk, pertumbuhan
ekonomi, pertumbuhan daya beli masyarakat dan perubahan selera. Dengan adanya berbagai hal
tersebut pertumbuhan produksi beras nasional mengalami perlambatan. Walaupun produksi beras dari
tahun ke tahun mengalami peningkatan tetapi pertambahan produksi (marginal physical produk) nya
mengalami penurunan. Kondisi seperti ini menjadi sinyal bagi pemerintah segera mengambil sikap
untuk mencegah terjadinya kondisi kekurangan pangan.
Berdasarkan penjelasan dari latar belakang di atas, maka dapat dikemukakan rumusan masalah
yang ingin disampaikan yaitu:
Identifikasi Dan Analisis Determinan Ketahanan Pangan Di
Indonesia (Studi Empiris Produksi Beras 1980-2020)
Vol 1, No 2 Oktober,2022
Mochammad Rizqy Teddy Saputra
68
a. Berapa banyak hasil produktivitas lahan, harga beras, luas lahan, dan luas panen.
b. Menganalisis pengaruh produktivitas lahan, harga beras, luas lahan, dan luas panen terhadap
ketahanan pangan.
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian yang akan
dicapai dalam penelitan ini yaitu:
a. Untuk mengetahui hasil produktivitas lahan, harga beras, luas lahan, dan luas panen.
b. Untuk mengetahui pengaruh produktivitas lahan, harga beras, luas lahan dan luas panen terhadap
ketahanan pangan.
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain:
a. Untuk memberikan wawasan atau pandangan terhadap penulis sendiri terkait masalah ketahanan
pangan yang dibahas di penelitian ini.
b. Bagi Pemerintah, penelitian ini guna menunjukkan betapa pentingnya untuk menambah hasil
lahan, beras dan lain-lain.
c. Memberikan gambaran pada masyarakat agar pentingnya menggunakan produk hasil pertanian
local.
Ketahanan pangan merupakan tujuan yang ingin dicapai perekonomian Indonesia dalam rangka
mencapai tujuan pembangunan Millenium yang ditargetkan terwujud pada tahun 2015. Tujuan
pembangunan millenium dalam hal pengurangan kemiskinan dan kelaparan dilakukan dengan tujuan
mengurangi separuh proporsi penduduk Indonesia yang menderita kelaparan. Ketahanan pangan yang
diartikan sebagai kondisi dimana terjadinya kecukupan penyediaan pangan bagi rumah tangga diukur
dari ketercukupan pangan dalam hal jumlah, kualitas, jaminan atas keamanan pangan, distribusi yang
merata dan kemampuan membeli. (UU no.7 tahun 1996).
Ketahanan pangan menurut definisi FAO 1997 merupakan situasi dimana semua rumah tangga
mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota
keluarganya, dimana rumah tangga tidak beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut.
Berdasarkan definisi dapat disimpulkan bahwa ketahanan pangan memiliki 5 unsur yang harus dipenuhi
yaitu berorientasi pada rumah tangga dan individu, dimensi waktu setiap saat pangan tersedia dan dapat
diakses, menekankan pada akses pangan rumah tangga dan individu, baik fisik, ekonomi dan social,
berorientasi pada pemenuhan gizi serta ditujukan untuk hidup sehat dan produktif. Dalam konsep
ketahanan pangan ruangnya lingkup berdeda dengan yang lain yaitu meliputi rumah tangga dan
individu. Strategi yang diterapkan dalam konsep ketahan pangan adalah peningkatan ketersediaan
pangan, akses pangan, dan penyerapan pangan. Capaian utama dalam konsep ini meliputi peningkatan
status gizi (penurunan kelaparan, gizi kurang dan gizi buruk). Hasil yang diharapkan adalah manusia
sehat dan produktif (angka harapan hidup tinggi) pada konsep ketahanan lebih mengutamakan akses
setiap individu untuk memperoleh pangan yang bergizi untuk sehat dan produktif. Konsep ketahanan
pangan yang sempit meninjau sitem ketahan pangan dari aspek masukan yaitu produksi dan penyediaan
pangan. Seperti yang banyak diketahui, baik secara nasional maupun globlal, ketersediaan pangan yang
melimpah melebihi kebutuhan pangan penduduk tidak menjamin bahwa seluruh penduduk terbebas dari
kelaparan dan gizi kurang. Konsep ketahan pangan yang luas bertolak pada tujuan akhir dari ketahan
pangan yaitu tingkat kesejahteraan manusia (Gn, 2011).
Ketahanan pangan mencakup aspek makro dan aspek mikro. Dalam aspek makro ketahanan
pangan adalah tersedianya pangan secara cukup sedang secara mikro ketahanan pangan adalah
terpenuhinya kebutuhan pangan rumah tangga untuk menjalani hidup yang sehat dan produktif.
Ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam pembangunan sumber daya manusia
secara khusus maupun pembangunan perekonomian secara umum. Kondisi dimana terdapat ketahanan
pangan menyebabkan daya saing individu meningkat. Peningkatan daya saing individu menyebabkan
peningkatan daya saing bangsa melalui peningkatan kinerja fisik, intelektual dan kinerja kreatifitas yang
selanjutnya menciptakan pertumbuhan ekonomi sehingga terciptalah peningkatan daya saing bangsa.
Sebaliknya mengabaikan ketahanan pangan berarti membiarkan rendahnya kualitas sumber daya
manusia (Sukarniati, 2013).
Ketahanan pangan didefinisikan sebagai situasi yang terjadi ketika “semua orang, setiap saat,
memiliki akses fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk memenuhi
Vol 1, No 2 Oktober,2022
69
https://jetbis.al-makkipublisher.com/index.php/al/index
kebutuhan pangan dan preferensi pangan mereka untuk hidup aktif dan sehat” (Food and Agriculture
Organization, 2002, hlm. 49). Dengan demikian, ketahanan pangan dapat menjadi kondisi kronis atau
sementara (Food and Agriculture Organization (FAO), 2008). Definisi ketahanan pangan merupakan
konsep yang ambisius, dan sulit diukur. Selain itu, konsep ketahanan pangan terkait dengan beberapa
konsep kompleks seperti kerawanan gizi, kelaparan, kekurangan gizi, kekurangan gizi dan obesitas.
Oleh karena itu, mengingat kompleksitas ini, pengukuran ketahanan pangan yang tepat penting untuk
menggambarkan tindakan dan inisiatif untuk mengelola bantuan pangan dan ekonomi, mengevaluasi
kondisi gizi dan kesehatan dan mengusulkan tindakan, program, dan pembuatan kebijakan tertentu.
Sebagaimana dikemukakan oleh FAO (2008), untuk mencapai ketahanan pangan memerlukan
pemenuhan empat syarat secara bersamaan. Kondisi tersebut merupakan dimensi utama ketahanan
pangan: ketersediaan fisik pangan; akses ekonomi (EA) dan akses fisik (PA) terhadap pangan;
pemanfaatan pangan (FU); dan stabilitas tiga dimensi lainnya dari waktu ke waktu (FAO, 2008).
Meskipun ada empat dimensi untuk ketahanan pangan, dimensi keempat yang terdaftar stabilitas
tidak dipertimbangkan dalam penelitian ini mengingat kompleksitas dan tantangan pengukurannya
(Abbade, 2017).
Ketahanan pangan merupakan salah satu isu strategis dalam pembangunan suatu negara, lebih-
lebih negara yang sedang berkembang, karena memiliki peran ganda yaitu sebagai salah satu sasaran
utama pemba- ngunan dan salah satu instrumen utama (tujuan antara) pembangunan ekonomi. Peran
pertama merupakan fungsi ketahanan pangan sebagai prasyarat untuk terjaminnya akses pangan bagi
semua penduduk negara dalam jumlah dan kualitas yang cukup untuk eksistensi hidup, sehat, dan
produktif. Akses terhadap pangan yang "cukup" merupakan hak azasi manusia yang harus selalu
dijamin oleh nega- ra bersama masyarakat (FAO, 1998; Byron, 1988). Hal ini sudah diakui oleh
Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Ketahanan Pangan No.7 tahun 1996. Peran
kedua, merupakan implikasi dari fungsi ketahanan pangan sebagai syarat keharusan dalam
pembangunan sumber daya manusia yang kreatif dan produktif yang merupakan determinan utama dari
inovasi ilmu pengetahuan, teknologi dan tenaga kerja produktif serta fungsi ketahanan pangan sebagai
salah satu determinan lingkungan perekonomian yang stabil dan kondusif bagi pembangunan. Setiap
negara senantiasa berusaha membangun sistem ketahanan pangan yang mantap. Oleh sebab itu sangat
rasional dan wajar kalau Indonesia menjadi- kan program pemantapan ketahanan pangan nasional
sebagai prioritas utama pembangunannya (Simatupang & Peter Timmer, 2008).
Meskipun upaya substansial telah dilakukan untuk mencegah atau menangani krisis pangan,
banyak negara di Afrika barat masih menghadapi krisis pangan dan gizi karena penyebab struktural atau
siklus. Untuk memastikan ketahanan pangan dan gizi dalam suatu populasi, kebijakan berbasis bukti
dan investasi strategis diperlukan di sektor ini. Ini hanya mungkin dengan meningkatkan kesadaran para
pengambil keputusan berdasarkan informasi yang dapat dipercaya (Ouedraogo, Compaore, Amouzou,
Zeba, & Dicko, 2019).
Ketahanan pangan merupakan isu multidimensi yang sangat kompleks. Permasalahan ketahanan
pangan tidak hanya terjadi di Indonesia, seluruh Negara di dunia juga mengalami permasalahan
ketahanan pangan oleh karena itu, Food and Agriculture Organization (FAO) senantiasa memberikan
informasi terkini kondisi pangan di berbagai negara. FAO mendukung pengembangan kapasitas
pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi tantangan ketahanan pangan dan gizi. Hal tersebut
sesuai dengan Undang-undang Nomor 7 (1996) yang menyatakan bahwa, suatu wilayah harus mampu
menyediakan pangan yang aman, merata, dan terjangkau bagi semua warganya agar tercapai ketahanan
pangan di wilayah tersebut. Susanti (2017) juga menyatakan bahwa ketahanan pangan merupakan suatu
tingkat kebutuhan pangan dan gizi setiap individu maupun kelompok masyarakat dalam pemenuhan
derajat kesehatan dan kesejahteraannya. Oleh karena itu, ketahanan pangan merupakan kondisi
pemenuhan pangan yang aman dan bergizi pada setiap masyarakat untuk mendukung tercapainya
kesehatan dan kesejahteraan masyarakat di suatu wilayah (Pujiati, Pertiwi
1
, Silfia
1
, Ibrahim
1
, & Hafida
1
,
2020).
Pada kenyataannya program ketahanan pangan tersebut belum bisa terlepas sepenuhnya dari
beras sebagai komoditi basis yang strategis. Hal ini tersurat pada rumusan pembangunan pertanian
bahwa sasaran indikatif produksi komoditas utama tanaman pangan sampai tahun 2006 dan cadangan
Identifikasi Dan Analisis Determinan Ketahanan Pangan Di
Indonesia (Studi Empiris Produksi Beras 1980-2020)
Vol 1, No 2 Oktober,2022
Mochammad Rizqy Teddy Saputra
70
pangan pemerintah juga masih berbasis pada beras. Namun demikian, dengan semakin berkurangnya
areal garapan per petani, keterbatasan pasokan air irigasi dan mahalnya harga input serta relatif
rendahnya harga produk dapat menjadi faktor-faktor pembatas/kendala untuk program peningkatan
kesejahteraan dan kemandirian petani yang berbasis sumberdaya lokal tersebut.
Upaya untuk menuju pada peningkatan kesejahteraan petani secara operasional akan dilakukan
melalui pemberdayaan penyuluhan, pendampingan, penjaminan usaha, perlindungan harga gabah,
kebijakan proteksi dan promosi. Beberapa upaya tersebut memang relatif sangat diperlukan namun
faktor kendala seperti disebutkan terdahulu perlu mendapatkan perhatian yang cermat hingga di tingkat
daerah. Hal tersebut dapat dimengerti mengingat sebagian besar petani di Indonesia untuk komoditas
beras masih tergolong petani subsisten dalam artian berperan sebagai produsen sekaligus konsumen
beras. Dengan demikian maka jumlah beras yang dijual ke pasar akan sangat bergantung pada surplus
konsumsi rumahtangga dan harga beras serta harga barang lain yang diperlukan petani dari industri lain.
Untuk itu penelitian ini akan berusaha mengemukakan kondisi perberasan nasional dan perilaku
ekonomi petani penghasil beras sebagai salah satu komponen ekonomi perberasan nasional (Darwanto,
2005).
Ketahanan pangan terwujud apabila secara umum telah terpenuhi dua aspek sekaligus. Pertama
adalah tersedianya pangan yang cukup dan merata untuk seluruh penduduk. Kedua, setiap penduduk
mempunyai akses fisik dan ekonomi terhadap pangan untuk memenuhi kecukupan gizi guna menjalani
kehidupan yang sehat dan produktif dari hari ke hari (Pangan, 2006).
Ketahanan pangan merupakan konsep multidimensi yang mencakup empat dimensi hierarkis:
ketersediaan fisik pangan; akses ekonomi dan fisik terhadap pangan; pemanfaatan pangan; dan stabilitas
dari tiga dimensi sebelumnya dari waktu ke waktu. Ketahanan pangan memiliki banyak tingkatan, mulai
dari tingkat global, regional, nasional dan lokal hingga tingkat rumah tangga/individu.Khususnya,
ketahanan pangan nasional atau regional tidak selalu menjamin
ketahanan pangan rumah tangga/individu. Di Indonesia, sebagian besar rumah tangga miskin
mengalami kesulitan dalam mengakses pangan dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
minimum asupan energi dan protein terutama karena keterbatasan pendapatan. Kemiskinan pangan
tidak mengarah pada penyakit terkait gizi dan pola kemiskinan pangan diturunkan ke generasi
berikutnya. Oleh karena itu, untuk mengentaskan kemiskinan di negara-negara berkembang pesat
seperti Indonesia, ketahanan pangan harus dipastikan di tingkat rumah tangga/individu (Amrullah,
Ishida, Pullaila, & Rusyiana, 2019).
Ketahanan pangan pertama kali didefinisikan pada tahun 1975 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa
sebagai “ketersediaan pasokan pangan dunia yang memadai setiap saat dari bahan makanan dasar untuk
mempertahankan ekspansi konsumsi pangan yang stabil dan untuk mengimbangi fluktuasi produksi dan
harga”. Dengan kata lain, mempertimbangkan kuantitas dan harga, keadaan ketahanan pangan global
dihasilkan dari kemampuan produsen pangan dunia untuk mempertahankan konsumsi pangan setiap
saat.Akibatnya, ketahanan pangan dipandang sebagai masalah satu dimensi ketersediaan pangan
(Hamidi, Arabi, & Rastegari, 2011).
Antara tahun 1983 dan 1996, definisi ketahanan pangan diperluas mencakup tiga dimensi selain
ketersediaan. Definisi yang diperluas menyatakan bahwa dunia ketahanan pangan bergantung pada
ketersediaan (supplies), akses (affordability), dan pemanfaatan yang tepat (kecukupan gizi) pangan
secara berkelanjutan. Dimensi akses merepresentasikan keseimbangan dalam sistem penawaran dan
permintaan pangan. Di dunia nyata di mana globalisasi dan skala ekonomi memainkan peran ekonomi
yang penting dalam profitabilitas rantai nilai pangan, kesetaraan pasokan dengan permintaan mungkin
tidak mewakili alokasi sumber daya yang efisien. Bahkan tanpa perdagangan internasional dan dengan
asumsi swasembada suatu negara, makanan mungkin tersedia di beberapa daerah sementara di daerah
lain menjadi langka. Satu dekade kemudian, kebutuhan akan ketahanan pangan yang berkelanjutan
ditekankan, yang mengarah pada penggabungan stabilitas ke dalam konsep tersebut. Dengan demikian,
ketahanan pangan menjadi isu empat dimensi: ketersediaan, aksesibilitas, pemanfaatan, dan stabilitas
(Hamidi et al., 2011).
Dalam KTT Pangan Dunia 1974, ketahanan pangan didefinisikan sebagai: 'Ketersediaan pasokan
pangan dunia yang memadai setiap saat dari bahan makanan dasar untuk mempertahankan ekspansi
Vol 1, No 2 Oktober,2022
71
https://jetbis.al-makkipublisher.com/index.php/al/index
konsumsi makanan yang stabil dan untuk mengimbangi fluktuasi produksi dan harga', di mana kata
kuncinya adalah 'ketersediaan ' dan 'dunia'. Definisi FNS yang diterima secara resmi lebih baru,
diusulkan pada tahun 2001 dan dimasukkan dalam Deklarasi KTT Dunia tentang Keamanan Pangan
tahun 2009 agak berbeda: 'Ketahanan pangan [adalah] situasi yang ada ketika semua orang, waktu,
memiliki akses fisik, sosial dan ekonomi ke makanan yang cukup, aman dan bergizi yang memenuhi
kebutuhan diet dan preferensi makanan mereka untuk hidup aktif dan sehat'. Dalam definisi ini,
ketersediaan tidak disebutkan lagi dan kata kuncinya adalah 'akses' dan 'orang'.
Ketahanan pangan memiliki hubungan yang melekat dengan kesejahteraan individu. Brown
(1987) mendaftar hasil potensial dari kerawanan pangan, termasuk kelahiran prematur, gangguan fungsi
kognitif, dan resistensi yang rendah terhadap infeksi dan penyakit. Kelompok rentan seperti anak-anak
dan orang tua seringkali memiliki kondisi kesehatan yang kronis. Kerawanan pangan juga memiliki
implikasi sosial yang mempengaruhi perkembangan manusia dan interaksi sosial (Hamelin, Habicht, &
Beaudry, 1999). Ini dapat mempengaruhi hasil ekonomi makro, termasuk penurunan produktivitas kerja
dan peningkatan pengeluaran kesehatan public (Blomhoff, Green, Berg, & Norum, 1990).
Ketahanan pangan memiliki banyak dimensi dan ada pendekatan yang berbeda untuk
mengukurnya. Istilah ini terkadang digunakan secara bergantian dengan kemiskinan dan kekurangan
gizi (Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa [FAO], Dana Internasional untuk
Pembangunan Pertanian [IFADS], & Program Pangan Dunia [WFP], 2014). Beberapa studi penelitian
mengklaim untuk mengukur ketahanan pangan tetapi berfokus pada variabel proxy seperti kelaparan.
Misalnya, Meade dan Rosen (2002) berpendapat bahwa ambang batas yang baik untuk ketahanan
pangan adalah memiliki cukup uang untuk membeli makanan. FAO (2002) menyajikan metode inovatif
untuk mengukur ketahanan pangan. Hales dan Blakely (2002) mempelajari hasil antropometri dan
kemiskinan. Kuhnlein dkk. (2002) mengukur akses nutrisi bagi penduduk asli. Pengukuran ketahanan
pangan terbaik adalah metodologi yang mencakup semua dimensi yang tercantum dalam definisi
ketahanan pangan (Blomhoff et al., 1990).
Fungsi produksi adalah adalah kombinasi dari penggunaan berbagai input untuk menghasilkan
output tertentu. Fungsi produksi dapat digambarkan sebagai berikut:
Y = F (K,L)
Dimana Y adalah output, K adalah capital sedangkan L adalah tenaga kerja. Persamaan di atas
menerangkan bahwa penggunaan input berupa modal dan tenaga kerja akan menentukan besarnya
output. Analisis tentang factor produksi sering kali diasumsikan bahwa factor produksi tenaga kerja
yang dapat lebih mudah diubah jumlahnya (Sukarniati, 2013).
Dalam bidang pertanian tanaman pangan seperti beras, factor produksi juga sangat menentukan
besar kecilnya jumlah produksi. Optimalisasai produksi dapat dilakukan dengan penggabungan factor
produksi modal dalam hal ini tanah/ sawah, mesin, saluran irigasi, obat dan pupuk serta factor produksi
tenaga kerja, dalam hal ini adalah jumlah tenaga kerja terampil yang bekerja di bidang pertanian
tanaman padi. Analisis sederhana menggunakan Isokuan yang mengasumsikan penggunaan dua
variabel vaktor produksi ceteris paribus (Sukarniati, 2013).
Luas sawah yang merupakan lahan untuk memproduksi padi juga akan berpengaruh pada skala
usaha, semakin luas skala usaha maka akan semakin efisien produksi padi yang sering terjadi dalam
pengelolaan lahan di Indonesia, semakin luas lahan yang dipakai semakin tidak efisien. Jika kondisi
sebaliknya, makin sempit lahan maka penggunaan factor produksi semakin baik sehingga efi siensi
semakin tinggi tetapi jika luasan terlalu kecil maka cenderung tidak efisien (Soekartawi, 1993)
(Sukarniati, 2013).
Salah satu kebijakan pembangunan pertanian adalah mengembangkan system ketahanan pangan
dengan berbasis pada keanekaragaman sumber daya bahan pangan, kelembagaan dan penduduk local
dalam rangka menjamin ketersediaan pangan dalam jumlah dan mutu yang diperlukan dengan
memperhatikan pendapatan petani serta peningkatan produksi yang diatur dengan UU. Selain itu
pemerintah telah menetapkan kebijakan swasembada pangan untuk lima komoditas penting yakni beras,
jagung, kedelai, daging sapi serta gula. Swasembada beras telah terlaksana pada tahun 1984 dan tahun
2004., namun demikian upaya peningkatan produksi beras menghadapi tantangan seperti konversi lahan
sawah, rusaknya saluran irigasi, stagnannya teknologi yang dapat meningkatkan produksi padi
Identifikasi Dan Analisis Determinan Ketahanan Pangan Di
Indonesia (Studi Empiris Produksi Beras 1980-2020)
Vol 1, No 2 Oktober,2022
Mochammad Rizqy Teddy Saputra
72
(Sukarniati, 2013).
Dalam UU no. 7 tahun 1996, ketahanan pangan diartikan sebagai kondisi dimana ter- jadinya
kecukupan penyediaan pangan bagi rumah tangga yang diukur dari ketercukupan pangan dalam hal
jumlah dan kualitas dan juga adanya jaminan atas keamanan pangan, distribusi yang merata dan
kemampuan membeli. Dalam hal menjamin kemampuan membeli maka pemerintah memantau dan
mengendalikan harga beras. Harga beras rendah berarti keterjangkauan masyarakat dalam membeli
beras semakin tinggi atau dengan kata lain semakin rendah harga beras masyarakat semakin mampu
membeli beras, sebaliknya semakin tinggi harga beras, semakin rendah kemampuan masyarakat untuk
membeli beras.
Dalam teorinya Malthus menjelaskan tentang perbandingan antara pertambahan jumlah
penduduk dan jumlah pangan. Perkembangan penduduk seperti deret ukur sedang perkembangan
produk makanan seperti deret hitung. Akibat dari perkembangan penduduk yang lebih besar
menyebakan rata-rata lahan yang dimiliki semakin sempit, kontribusi marjinal terhadap total produksi
pangan semakin menurun dan ketahanan pangan juga semakin menurun (Sukarniati, 2013).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan data sekunder. Adapun sumber data yang digunakan adalah berasal
dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kementrian Pertanian, Bappenas, dan FAO.
Metode yang digunakan yakni regresi berganda, uji apriori ekonomi, uji statistic (yang meliputi
uji t dan uji F, koefisien determinasi)
Adapun model regresi berganda yang dapat disusun adalah sebagai berikut:
Keterangan:
Y = Ketahanan Pangan
= Luas Lahan
= Luas Panen
= Produktivitas Lahan
= Harga Beras
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data yang telah diperoleh dari penyebaran kuesioner kepada responden yang akan diteliti dalam uji
statistik.
Tabel 1
t, r, dan F Tabel
t
R
F
1.66
0.197
2,46
Sumber: Data SPSS (2022)
Dari Tabel 1. t, r, dan F Tabel, dapat diketahui bahwa t tabel yang diperoleh adalah sebesar 1,66.
r tabel yang diperoleh adalah 0,197, Sedangkan, F tabel yang diperoleh adalah 2,46.
A. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan dengan tujuan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi, variabel
dependen atau keduanya mempunyai distribusi normal ataukah tidak.
Berikut ini adalah gambar dari hasil pengujian normalitas data yang ditunjukan dalam gambar 4.1
sebagai berikut:
Gambar 1
Uji Normalitas
Vol 1, No 2 Oktober,2022
73
https://jetbis.al-makkipublisher.com/index.php/al/index
Sumber : Hasil Output SPSS 25.00 for windows
Berdasarkan gambar 1 dapat terlihat titik-titik mendekati di sekitar garis diagonal, serta
penyebarannya mengikuti garis diagonal, sehingga regresi ini dapat dikatakan normal.
B. Uji Multikolinearitas
Tabel 2
Uji Multikolinearitas
Coefficients
a
Model
Unstandardized
Coefficients
Standard
ized
Coefficie
nts
t
Sig.
Collinearity
Statistics
B
Std.
Error
Beta
Tolera
nce
VIF
1
(Constant)
1,510
1,349
1,120
,266
Produktivita
s Lahan
-,297
,121
-,216
-
2,461
,016
,455
2,199
Harga Beras
,741
,278
,415
2,660
,009
,145
6,907
Luas Lahan
,253
,161
,210
1,569
,120
,196
5,099
Luas Panen
,846
,205
,397
4,125
,000
,379
2,638
a. Dependent Variable: Ketahanan Pangan
Sumber: Data SPSS (2021)
Dasar pengambilan keputusan berdasarkan variance inflation factor (VIF):
1. Nilai VIF > 10, maka terjadi multikolinearitas
2. Nilai VIF < 10, maka tidak terjadi multikolinearitas
Dari tabel Coefficientsa yang telah diperoleh, dapat diketahui bahwa nilai VIF < 10. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi multikolinearitas antar variabel independent atau
bebas dan dapat melanjutkan penelitian.
C. Uji Heteroskedastisitas
Uji Heteroskedastisitas dilakukan untuk mengetahui apakah dalam sebuah model regresi terjadi
ketidaksamaan varians dari residual suatu pengamatan ke pengamatan lain. Jika variance dari nilai
residual dari satu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap, maka disebut dengan Homoskedastisitas.
Dan jika varians berbeda dari satu pengamatan ke pengamatan yang lainnya, maka disebut
Heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah yang Hemoskedastisitas atau tidak terjadi
Heteroskedastisitas.
Adapun hasil pengujian heteroskedastisitas terhadap variabel (X
1
), (X
2
), (X
3
), (X
4
), dan (Y) dengan
menggunakan program SPSS versi 25.00 for windows yaitu sebagai berikut:
Gambar 2
Uji Heteroskedastisitas
Sumber : Hasil Output SPSS 25.00 for windows
Identifikasi Dan Analisis Determinan Ketahanan Pangan Di
Indonesia (Studi Empiris Produksi Beras 1980-2020)
Vol 1, No 2 Oktober,2022
Mochammad Rizqy Teddy Saputra
74
Pada gambar 2 dapat dilihat bahwa terdapat titik-titik yang menyebar dan membentuk suatu pola
tertentu seperti bergelombang atau membentuk sebuah garis, yang artinya bahwa model regresi ini tidak
terjadi heteroskedastisitas melainkan hemoskedastisitas.
D. Uji Autokorelasi
Pengujian Autokorelasi adalah hubungan yang terjadi antara residual dari pengamatan satu dengan
pengamatan yang lain. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi autokorelasi. Untuk medeteksi
ada atau tidak adanya autokorelasi maka kita harus mencari nilai Durbin Waston (DW).
Tabel 3
Hasil Uji Autokorelasi
Model Summary
b
Model
R
R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of
the Estimate
Durbin-Watson
1
,816
a
,666
,652
1,60910
1,759
a. Predictors: (Constant), Luas Panen, Produktivitas Lahan, Luas Lahan, Harga Beras
b. Dependent Variable: Ketahanan Pangan
Hasil uji autokolerasi dengan Durbin Watson menunjukkan angka 1,758 dengan jumlah variabel
bebas (k) = 4, jumlah data yang diamati sebesar 100, dimana dari tabel DW nilai dL = 1,53 dan dU =
1,70 dan 4 du (2,30), 4 dL (2,47). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nilai berada antar dU
dan 4-dU, berarti tidak ada autokorelasi
E. Uji Linieritas
Uji kelinieran regresi dilakukan untuk mengetahui apakah hubungan antara variabel bebas dengan
variabel terikat linier atau tidak, berikut hasil analisisnya:
Tebel 4
ANOVA
a
Model
Sum of
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
1
Regression
490,266
4
122,566
47,338
,000
b
Residual
245,974
95
2,589
Total
736,240
99
a. Dependent Variable: Ketahanan Pangan
b. Predictors: (Constant), Luas Panen, Produktivitas Lahan, Luas Lahan, Harga Beras
Pada tabel ini terlihat bahwa nilai probabilitasnya atau sig. = 0,000, yaitu lebih kecil dari 0,05 (0,000
> 0,05), Hal ini menunjukkan model regresi linear sehingga analisis regresi linear dapat dilanjutkan.
F. Analisis Pengaruh Produktivitas Lahan, Harga Beras, Luas Lahan, dan Luas Panen terhadap
Ketahanan Pangan
Analisis Koefesien Regresi Linear Berganda
Tabel 5
Analisis Regresi Linear Berganda
Coefficients
a
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t
Sig.
B
Std. Error
Beta
1
(Constant)
1,510
1,349
1,120
,266
Produktivitas
Lahan
,297
,121
,216
2,461
,016
Harga Beras
,741
,278
,415
2,660
,009
Luas Lahan
,253
,161
,210
1,569
,120
Luas Panen
,846
,205
,397
4,125
,000
a. Dependent Variable: Ketahanan Pangan
Sumber: Data SPSS (2022)
Vol 1, No 2 Oktober,2022
75
https://jetbis.al-makkipublisher.com/index.php/al/index
Berikut rumus untuk analisis regresi linear berganda:




    
Keterangan:
Y : Nilai dari variabel dependen
: Konstanta
,
, : Koefisien dari variabel bebas/independen
,
, : Variabel bebas/independen
G. Uji Koefisien Determinasi (R Square)
Tabel 6
Uji Koefisien Determinasi
Model Summary
b
Model
R
R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
1
,816
a
,666
,652
1,60910
a. Predictors: (Constant), Luas Panen, Produktivitas Lahan, Luas Lahan, Harga Beras
b. Dependent Variable: Ketahanan Pangan
Sumber: Data SPSS (2022)
Dari tabel Model Summary yang telah diperoleh, dapat diketahui bahwa besarnya Adjusted R Square
adalah 0,666 = 66,6%. Hal ini mengartikan bahwa pengaruh seluruh variabel independent terhadap
variabel dependen sebesar 66,6% dan sebesar 33,4% dipengaruhi oleh variabel lain.
H. Uji Koefisien Regresi secara Parsial (Uji t)
Tabel 7
Uji Koefisien Regresi secara Parsial (Uji t)
Coefficients
a
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t
Sig.
B
Std. Error
Beta
1
(Constant)
1,510
1,349
1,120
,266
Produktivitas
Lahan
,297
,121
,216
2,461
,016
Harga Beras
,741
,278
,415
2,660
,009
Luas Lahan
,253
,161
,210
1,569
,120
Luas Panen
,846
,205
,397
4,125
,000
a. Dependent Variable: Ketahanan Pangan
Sumber: Data SPSS (2022)
Dari tabel Coefficients yang telah diperoleh, digunakan untuk menunjukkan pengaruh secara
parsial dari variabel independen terhadap variabel dependen.
Hipotesis:
Ho : Variable X (Produktivitas Lahan, Harga Beras, Luas Lahan, dan Luas Panen) tidak terdapat
pengaruh secara parsial dan signifikan terhadap Ketahanan Pangan.
Ha : Variabel X (Produktivitas Lahan, Harga Beras, Luas Lahan, dan Luas Panen) terdapat pengaruh
secara parsial dan signifikan terhadap Ketahanan Pangan.
Dasar pengambilan keputusan dengan melihat t hitung:
1. t hitung > t table atau -t hitung < -t table, maka
ditolak dan
diterima (variabel berpengaruh)
2. t hitung < t table atau -t hitung > -t table, maka
diterima dan
ditolak (variabel tidak
berpengaruh)
Dasar pengambilan keputusan dapat dilihat dari nilai Sig.:
1. Sig. < 󰇛 󰇜, maka
ditolak dan
diterima (variabel berpengaruh)
2. Sig. > 󰇛 󰇜, maka
diterima dan
ditolak (variabel tidak berpengaruh)
Keputusan:
2,461 > 1.65, maka Ho ditolak
Identifikasi Dan Analisis Determinan Ketahanan Pangan Di
Indonesia (Studi Empiris Produksi Beras 1980-2020)
Vol 1, No 2 Oktober,2022
Mochammad Rizqy Teddy Saputra
76
2,660 > 1.65, maka Ho ditolak
1,569 < 1.65, maka Ho diterima
4,125 > 1.65, maka Ho ditolak
atau
0,016 < 0.05, maka Ho ditolak
0,009 < 0.05, maka Ho ditolak
0,120 > 0.05, maka Ho diterima
0,000 < 0.05, maka Ho ditolak
I. Uji Koefisien Regresi secara Simultan (Uji F)
Tabel 8
Uji Koefisien Regresi secara Simultan (Uji F)
ANOVA
a
Model
Sum of
Squares
Df
Mean Square
F
Sig.
1
Regression
490,266
4
122,566
47,338
,000
b
Residual
245,974
95
2,589
Total
736,240
99
a. Dependent Variable: Ketahanan Pangan
b. Predictors: (Constant), Luas Panen, Produktivitas Lahan, Luas Lahan, Harga Beras
Sumber: Data SPSS (2022)
Dari tabel Anova yang telah diperoleh, digunakan menunjukkan pengaruh secara simultan dari
variabel independen terhadap variabel dependen. Dapat diketahui bahwa nilai signifikansi sebesar 0.000
< 0.05 dengan memiliki nilai F sebesar 47,338.
Hipotesis:
Ho : Variable X (Produktivitas Lahan, Harga Beras, Luas Lahan, dan Luas Panen) tidak terdapat
pengaruh secara simultan dan signifikan terhadap Ketahanan Pangan (Y).
Ha : Variabel X (Produktivitas Lahan, Harga Beras, Luas Lahan, dan Luas Panen) terdapat pengaruh
secara simultan dan signifikan terhadap Ketahanan Pangan.
Dasar pengambilan keputusan dengan melihat F hitung:
1. F hitung > F tabel, maka
ditolak dan
diterima (variabel berpengaruh)
2. F hitung < F tabel, maka
diterima dan
ditolak (variabel tidak berpengaruh)
Atau
1. Sig. < 󰇛 󰇜, maka
ditolak dan
diterima (variabel berpengaruh)
2. Sig. > 󰇛 󰇜, maka
diterima dan
ditolak (variabel tidak berpengaruh)
Keputusan :
47,338 > 2,46, maka Ho ditolak
atau
0.000 < 0.05, maka Ho ditolak
KESIMPULAN
Penelitian ini semula di maksudkan untuk menganalisis jumlah produksi beras Maka Produktivitas
Lahan, Harga Beras, Luas Lahan, dan Luas Panen terdapat pengaruh secara simultan dan signifikan
terhadap Ketahanan Pangan.Maka Produktivitas Lahan terdapat pengaruh secara parsial dan signifikan
terhadap Ketahanan Pangan.Maka Harga Beras terdapat pengaruh secara parsial dan signifikan terhadap
Ketahanan Pangan.Maka Luas Lahan tidak terdapat pengaruh secara parsial dan signifikan terhadap
Ketahanan Pangan.Maka Luas Panen terdapat pengaruh secara parsial dan signifikan terhadap
Ketahanan Pangan.
Vol 1, No 2 Oktober,2022
77
https://jetbis.al-makkipublisher.com/index.php/al/index
DAFTAR PUSTAKA
L. Sukarniati and J. Kapas, “( Case Study of Rice Commodity 1980-2010 ) Determinan Ketahanan
Pangan Di Indonesia ( Studi Kasus Komoditi Beras Tahun 1980-2010 ),” Lestari Sukarniati, pp.
6980, 2010.
surabhi verma S. S. Bhattacharyya, Penyimpanan (Article) nama depan (Information) [,” Eletronic
Libr., vol. 34, no. 1, pp. 15, 2017.
H. Suharyanto, “Ketahanan Pangan Heri Suharyanto * Abstrak, Sos. Hum., vol. 4, no. 2, pp. 186–194,
2011, [Online]. Available: http://iptek.its.ac.id/index.php/jsh/article/view/633/355.
R. Prabowo, Kebijakan Pemerintah Dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Di Indonesia,” Mediagro,
vol. 62, no. 2, pp. 6273, 2010.
G. N. Mijnbouw, “No Analisis Struktur Kovarians Indeks Terkait Kesehatan untuk Lansia di Rumah,
Berfokus pada Perasaan Subyektif KesehatanTitle,” vol. 26, no. 4, pp. 551–556, 1996.
E. B. Abbade, “Availability, access and utilization,” World J. Sci. Technol. Sustain. Dev., vol. 14, no.
4, pp. 322335, 2017, doi: 10.1108/wjstsd-05-2016-0033.
P. Simatupang, “A Critical Review on Paradigm and Framework of National Food Security Policy,”
Forum Penelit. AGRO Ekon., vol. 25, no. 1, pp. 118, 2007.
O. Ouedraogo, E. W. R. Compaore, E. K. S. Amouzou, A. N. Zeba, and M. H. Dicko, “Household’s
Food Consumption Profile during Agricultural Mitigation Period: Burkina Faso Centre-West
Region Case,” J. Nutr. Food Secur., vol. 4, no. 4, pp. 279292, 2019, doi:
10.18502/jnfs.v4i4.1726.
S. Pujiati, A. Pertiwi, C. C. Silfia, D. M. Ibrahim, and S. H. Nur Hafida, “Analisis Ketersediaan,
Keterjangkauan Dan Pemanfaatan Pangan Dalam Mendukung Tercapainya Ketahanan Pangan
Masyarakat Di Provinsi Jawa Tengah,” J. Sos. Ekon. Pertan., vol. 16, no. 2, p. 123, 2020, doi:
10.20956/jsep.v16i2.10493.
Dwidjono H. Darwanto1, “Ketahanan Pangan berbasis Ketersediaan Produk dari Petani Subsisten,”
Ilmu Pertan., vol. 12, no. 2, pp. 152164, 2009.
Dewan Ketahanan Pangan, “Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006 – 2009,” Gizi dan Pangan, vol.
1, no. 1, pp. 5763, 2009.
E. R. Amrullah, A. Ishida, A. Pullaila, and A. Rusyiana, “Who suffers from food insecurity in
Indonesia?,” Int. J. Soc. Econ., vol. 46, no. 10, pp. 11861197, 2019, doi: 10.1108/IJSE-03-
2019-0196.
S. Rastegari et al., “Food Security in an Uncertain World,” p. iii, 2015, doi: 10.1108/s1574-
871520150000015015.
G. Brunori et al., “Small Farming and Food and Nutrition Security,” vol. 25, pp. 1938, 2020, doi:
10.1108/s1057-192220200000025004.
K. E. Norum, M. Wells, M. R. Hoadley, C. A. Geary, and R. Thompson, “Gender in an Urban World
Article information : Users who downloaded this article also downloaded :,” 2015.
Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License